Langsung ke konten utama

BRAHMANISME DAN BUDDHISME

https://akademicailmiah.blogspot.com/2020/09/brahmanisme-dan-buddhisme.html            


BRAHMANISME DAN BUDDHISME

Oleh:Hironimus Janggu

I. PENGANTAR

Sejarah kehidupan manusia tidak dapat disangkalli bahwa telah muncul berbagai aliran berpikir seiring lahirnya perkembangan peradaban manusia tersebut. Manusia mulai memikirkan berbagai hal yang bukan saja bersifat material tetapi juga beralih pada refleksi hidup yang lebih mendalam atas karya alam semesta. Fenomena kosmik mulai direfleksikan sebagai bagian inheren dari realitas kehidupan. Dalam hal ini alam pun dipersonifikasi sesuai dalam hubungan dengan kebutuhan manusia. Hal ini juga berimbas pada kenyataan hidup  yang memberi gambaran mendalam mengenai hidup yang muncul dalam berbagai pemikiran diberbagai belahan dunia. Pemikiran filosofis seperti ini terdapat pada zaman poros yang terjadi sekitar abad 6-4 SM.[1] Aliran berpikir mulai muncul sesuai dengan letak geografis seperti filsafat berpikir orang timur (Asia) dan aliran berpikir yang diberinama sesuai dengan keyakinan agama seperti Hinduisme dan Buddhisme.[2] Munculnya kedua keyakinan ini semakin mempertegas bahwa Filsafat menjadi hal yang sangat perlu bagi perkembangan manusia dalam tahap refleksi. Melalui refleksi, manusia tidak hanya berkutat dengan pengetahuan intelektualnya, tetapi juga berkutat dengan keyakinannya akan sesuatu yang memiliki kekuatan Supra-Natural. Sebab, sejatinya tidak semua persoalan manusia diselesaikan dengan kekuatan akal budinya, tetapi peran agama juga sangat dibutuhkan dalam memecahkan setiap persoalan manusia.

Selanjutnya,  dalam hubungan dengan sosok dan wacana dalam karya refleksifitas kosmos sering dalam filsafat barat kuno disebut sebagai aliran filsafat naturalis. Filsafat jenis ini dikonstruksi atas dasar pemikiran yang sistematis sebagai bagian dari awal perkembangan ilmu. Filsafat dalam tradisi Barat bertolak dari keingintahuan akal budi manusia dan melalui penelitian rasional, logis, metodis dan sistematis sehingga suatu kebenaran terkuak. Prinsip dari filsafat barat adalah hidup yang tidak diuji secara rasional bukanlah hidup yang layak.[3] Sedangkan, dalam tradisi wawasan pemikiran dunia timur, refleksi filosofis dibangun dengan sejajar dengan alam. Dengan demikian,  kehidupan di sekitar manusia sebagai penuntun hidup serta norma perilaku yang identik dengan kepercayaan atau agama.

 II. PEMBAHASAN

2.1. Brahmanisme dan Filsafat Agama Buddha (Buddhisme)

2.1.1.      Brahmanisme

1.      Tradisi Veda

Tradisi Veda membentuk suatu ayat suci kebijaksanaan dan menjadi dasar pembentukan tradisi tata perayaan peribadatan atau ritual yang sangat kuat. Kitab Veda sendiri menceritakan kepada kita bahwa ketika ayat-ayat dalam Veda didaraskan, dimadahkan dan dinyayikan, justeru memampukan semua ciptaan untuk ambil bagian dalam kebijaksaan dan energi realitas ilahi.[4] Tradisi ini tidak menyatakan secara jelas kapan dan di mana proses penulisannya. Tetapi, Hal ini dinyatakan karena sudah diwahyukan kepada manusia pertama seperti juga diwahyukan dewasa ini kepada semua orang yang pengalaman spiritual yang mampu menukik ke dalam hidup (nir-waktu). Tardisi Veda juga tidak diwahyukan oleh pribadi-pribadi tertentu tetapi oleh realitas itu sendiri (nir-pengarang).[5] Ketiadaan pengarang dalam tradisi ini tidak menghambat para pemeluknya untuk menghidupi tradisi tersebut. Sebab, tradisi Veda tersebut sudah menjadi bagian dari kehidupan. Selanjutnya, dalam hubungan dengan wahyu, dapat dikatakan bahwa segala wahyu  yang diturunkan dari dewa-dewi kepada para resi[6] tentang “visi dari suatu relitas” yang disebut darshana[7] telah dilihat secara tepat dan sederhana untuk dapat dimengerti. Wahyu yang diajarkan harus diingat dan didengar agar dapat melihat realitas hidup untuk menuntun hidup manusia.

 

2.      Upanisad[8]

Secara harafiah kata Upanisad berarti “duduk di bawah kaki sang guru”. Kemudian kata ini juga menyebutkan sang guru yang bersifat rahasia, kemudian dilihat sebagai Kitab yang memuat ajaran-ajaran rahasia ini. Upanisad memiliki kurang lebih 100 buku. Seluruh ajaran ini merupakan reaksi kaum kesatria terhadap kuasa para imam. Karena itu pada awalnya para imam menolak Kitab ini. Namun kemudian, justru merekalah yang menyebarkan ajaran ini setelah kaum kesatria mengalami kesulitan dalam politik.

Inti dari ajaran Upanisad bersifat monistis dan absolutis; segala sesuatu keluar dari asas tertinggi (Brahman). Brahman merupakan asas kosmos dan Atman merupakan asas hidup manusia. Brahman berada secara imanen dalam Atman dan di sana yang tidak terbatas menjadi terbatas. Atman tidak hanya ada dalam manusia melainkan juga ada dalam segala sesuatu yang ada dalam alam semesta. Dalam Kitab Brahmana, Atman (napas hidup) dilihat sebagai pusat segala fungsi jasmani dan rohani manusia.

Self (Atman) menjadi terang yang disebut tat tvamasi yang merupakan kata-kata Brahman tuaaruni kepada putranya. Kemudian kata-kata ini menjadi formula kebenaran terkenal dalam vedantik. Tat tvamasi berarti anda harus sadar akan esensi diri anda yang terdalam yang merupakan substansi yang tidak kelihatan dari segala sesuatu.

2.1.2.      Filsafat Agama Buddha (Buddhisme)

Siddharta Gautama lahir sekitar tahun 560 SM di India bagian timur laut (Kapilavastu yang sekarang terletak di daerah Nepal). Tradisi Buddhis bermula di India sekitar tahun 528 dengan pengalaman pencerahan Siddharta Gautama. Sesudah pencerahanya, ia dikenal dengan nama Buddha (seorang yang dicerahkan) karena Buddha menjadi sadar akan kebenaran penderitaan (dukha). Ajaran agama ini mulai berkembang pesat setelah kematianya pada 483 SM. Dalam beberapa tahun dalam perlindungan raja Ashoka (yang memerintah tahun 269-232 SM), Buddhisme berkembang pesat. Model usaha misionaris Buddhis yang berhasil menyebar juga bukan saja di India melainkan juga di berbagai daerah lainnya di Asia.[9] Dalam penyebaran di Asia selalu dapat digambarkan sebagai berikut:[10] Pertama, 300 tahun pertama setelah kematian Buddha penyebaran sangat kuat selain di India juga terdapat di Srilanka lewat niaga perdagangan. Para misionaris juga sudah mulai bekerja keras di Cina dan Tibet. Kedua, pada abab ke-7 M, banyak pengusaha Jepang menganut ajaran ini dan segera diakui secara nasional.

Tradisi meyakinkan kita bahwa teks yang dikenal dengan nama Nikayas memuat suatu laporan awal yang dapat dipercayai tentang ajaran-jaran Buddha yang aktual, karena segera sesudah kematian Buddha satu konsili para biarawan Buddha yang diadakan untuk melihat kembali dan mengumpulkan ajaran-ajaranya.[11] Sumber tertulis tentang Buddhisme dalam tradisi Kitab Suci Theravada dalam bahasa Pali[12] disebut pitaka (keranjang) yang dapat dibagi atas tiga bagian yang disebut tripitaka (tiga bakul):[13]

Ø  Sutrapitaka terdiri dari berbagai macam-macam ceramah yang diberikan Buddha.

Ø  Adhimdhramapitaka, berisi analisis ajaran Buddha mengenai uraian filosofis tentang manusia (hidup dan mati).

Ø  Vinayapitaka berbicara mengenai para rahib (Bhikku) dan yang mengatur tata hidup jemaat.

       Sumber lain juga terdapat pada Kitab Suci kelompok Mahayana yang pada awalnya ditulis dalam bahasa Sansekerta, yaitu bahasa India pertama yang dapat dijumpai dalam Pali canon tetapi dengan tambahan lain. Dinyatakan bahwa Kitab tersebut dipercayai sebagai “sabda Buddha” misalnya pada Kitab vimalakirti sutra, yang berisi tentang seorang yang berumah tangga tetapi hidupnya lebih suci dari pada semua bodhisattva.[14]

 

1.      Ajaran Sesudah Buddha dan Perpecahan dalam Buddhisme[15]

Dalam perkembangan historis pemikiran buddhis, terdapat interaksi yang berlangsung secara terus-menerus antara visi-visi yang lebih tua tentang kehidupan dan tradisi meditasi yang sudah mempengaruhi Buddha dengan visi-visi baru yang lain serta cara hidup yang baru. Berbagai interpretasi dan ajaran ortodoks baru muncul sesudah kematian Buddha (483 SM), karena selama masa hidupnya Buddha tidak menetapkan kriteria untuk menafsir ajaran-ajaran dan juga tidak memberi dasar untuk mengartikan ajaran ortodoks untuk ajaran-ajarannya. Malah ketika Buddha berada dalam sakratul maut, ia menolak untuk menentukan seorang pemimpin yang menggantikan dia. Sebaliknya, ia justeru menasihati para biarawan yang sedang berkumpul, “biarlah ajaran (dharma) adalah gurumu,” dan “rajin-rajinlah dalam usahamu”.

Perbedaan dalam tradisi ajaran Theravada dan Mahayana terjadi sekitar Lima ratus tahun sesudah kematian sang Buddha. Para pakar tidak mengetahui secara lebih jelas dan pasti akan alasan yang menyebabkan perpecahan itu atau mereka tidak tahu pasti kapan perpecahan itu terjadi. Rupanya hal itu merupakan satu proses yang terjadi perlahan-lahan pada suatu masa antara tahun 200 SM dan 100 M. Namun harus ditekankan, walaupun ada perbedaan dalam menafsir ajaran tersebut, mereka kerap kali hidup bersama dalam biara yang sama dan menjalankan praktik hidup yang sama selama abad-abad awal. Sesuatu yang berlaku secara umum jauh lebih penting dari pada perbedaan dari tradisi yang menjadi afiliasi mereka. Komitmen yang dibangun dalam perbedaan ajaran ini yaitu tetap bersandar pada Empat Kebenaran Mulia dan Delapan Jalan Mulia; usaha untuk menegakkan kepedulian sebagai jantung praktik mereka; dan penerimaan mereka akan Buddha, ajaran dan komunitas sebagai tiga serangkai dasar praktik hidup mereka. Kemudian, Theravada atau hinayana (kendaraan atau kapal feri yang kecil) memiliki observasi yang sempit dengan penekanan aspek monastik dan asketik serta persepsi etis tingkah laku manusia. Kelompok ini lebih konservatif, tradisional dan otoritatif. Sedangkan Mahayana (kendaraan besar): penekanan diberikan kepada kehidupan mistik dan lebih liberal.[16] Perbedaan yang lain juga ada misalnya pandangan mengenai Buddha, ajaran-ajaran esensial, komunitas Buddhis, cita-cita, jalan, iman, realitas dan beberapa prinsip hidup lainnnya.[17]

2.      Ajaran Buddha Tentang Keselamatan[18]

    Tujuan akhir dari hidup adalah nirvana yaitu pencapaian dunia tidak terbatas juga mencapai                    situasi bebas dari kefanaan dan kesementaraan. Penderitaan sudah dihapus dan kedamaian abadi           tercapai. Kata dan istilah nirvana dimengerti secara amat berbeda oleh empat kelompok manusia:

a.       Bagi orang yang menderita atau takut menderita, nirvana dilihat sebagai suatu pembebasan atau pemuasaan dari situasi hidup mereka.

b.      Kelompok orang yang berusaha melenyapkan ajaran tentang nirvana atau mengklaim bahwa tidak ada nirvana. Mereka berpikir bahwa nirvana baru ada setelah akal sudah tidak lagi bekerja dan semua elemen yang membentuk personalitas dan dunia tidak lagi berfungsi. Tidak lagi terdapat ingatan tentang masa lampau dan juga masa sekarang.

c.       Ada yang berpikir tentang nirvana yang selalu ada dalam hubungan dengan diri mereka sendiri. Mereka berbicara tentang kebahagiaan bagi diri mereka. Dunia ini hanyalah ungkapan pikiran. Manusia harus mempraktekkan segala peraturan dan relasi sosial untuk dapat mewujudkan diri dalam kebijaksaan luhur dengan usaha mereka sendiri.

d.      Nirvana orang Buddha. Bagi seorang bhodisattva akal sudah tidak lagi mendapat tempat yang utama melainkan hati atau batin. Sudah tidak ada lagi pelbagai halangan dalam pengetahuan. Tidak ada lagi kerinduan akan seks, tidak ada lagi kerja keras dan kerinduan akan hidup abadi. Realisasi diri sudah ditemukan dalam kebijaksaan luhur.

 

3.      Keutamaan Buddha[19]

Sesudah mengalami pencerahan sekitar tahun 528 SM, Siddhartha yang kini disebut Buddha (orang yang mengalami pencerahan) oleh para pengikutnya, membaktikan dirinya untuk mengajarkan jalan yang telah ditemukannya untuk mengatasi penderitan. Berikut ini akan diuraikan empat kebenaran mulia yang diajarkan Buddha dalam khotbah pertamanya yang dibawakan di Deer Park, di Benares pada saat sesudah pencerahan yang terdiri dari empat komponen;

a.    Kebenaran tentang apa itu penderitaan (duhkha).

b.    Kebenaran tentang unsur-unsur yang menyebabkan penderitaan.

c.    Kebenaran bahwa penderitaan dapat dihilangkan dengan cara menghilangkan kondisi-kondisi yang menyebabkan penderitaan.

d.   Kebenaran bahwa jalan untuk menghilangkan kondisi-kondisi yang menyebabkan penderitaan adalah untuk mengikuti jalan tengah yang ditetapkan dalam delapan jalan mulia.

Empat komponen kebenaran itu disebut mulia (arya) yang berarti hal itu layak mendapat pengakuan dan respek karena sangat bernilai dalam usaha manusia untuk mengerti dan menghilangkan penderitaan. Selanjutnya, ada juga kebenaran mulia  yang juga diajarkan Buddha, selain empat kebenaran di atas, antara lain; pertama, kebenaran ini menyangkut kebenaran tentang penderitaan. Jalan hidup yang diajarkan Buddha yaitu delapan jalan mulia, karena pada dasarnya merupakan suatu obat yang diperuntukan untuk menyembuhkan penyakit dasar manusia yaitu duhkha, maka pentinglah untuk mengerti kebenaran tentang penderitaan. Kedua, kebenaran Mulia yang menjelaskan unsur-unsur yang menyebabkan penderitaan.

Menurut Buddha yang menyebabkan penderitaan adalah “kehausan” (hasrat; trisnha). Kehausanlah yang menyebabkan eksist kembali dan pertumbuhan kembali, yang dibaluti dengan kelobaan yang penuh nafsu. Kehausan (hasrat) yang dikatakan Buddha menyebabkan penderitaan adalah satu bentuk kerinduan yang kuat dan tidak terhindarkan, bentuk kerinduan yang menggerakan orang kepada sesuatu yang ekstrim dalam usaha untuk mencapai dan menghindari sesuatu. Dalam usaha untuk memuaskan hasrat akan eksistensi yang terpisah dan permanen tersebut, seseorang mencoba merebut kekayaan, kuasa, kemasyuran dan kesehatan. Ketiga, kebenaran tentang penderitaan yang dapat dihilangkan dengan cara menghilangkan kondisi-kondisi yang menyebabkan penderitaan. Kebenaran bahwa pembebasan dari penderitaan adalah mungkin memuat analisis berikut tentang proses lahirnya kondisi duhkha. Jika hasrat yang ingat diri melahirkan penderitaan, maka pembebasan dari penderitaan dapat dicapai melalui proses menghilangkan hasrat itu. Menurut Buddha, kebenaran mulia tentang berhentinya penderitaan adalah berhenti total dari rasa dahaga yang membara (hasrat), menyerah, menolaknya, beremansipasi keluar dari hasrat itu, melepaskan keterikatan darinya. Menghilangnya penderitaan melalui padamnya hasrat tersebut itulah yang dinamakan disebut nirvana, satu kata yang secara harafiah berarti “terpadamkan”. Ketika hasrat itu dipadamkan, maka penderitaan ditarik keluar dari akarnya. Jadi, meskipun istilah nirvana bersifat negatif, tetapi tujuan nirvana Buddhis bersifat positif, karena nirvana merujuk pada hidup damai dan bahagia, bebas dari penderitaan, satu pembebasan yang dicapai melalui usaha memadamkan hasrat akan hidup yang terpisah dan permanen. Keempat, kebenaran bahwa jalan untuk menghilangkan kondisi-kondisi yang menyebabkan penderitaan adalah untuk mengikuti jalan tengah yang ditetapkan dalam delapan jalan mulia. Jalan untuk menghilangkan dukha adalah dengan memperaktikan delapan jalan mulia yang mengantar orang kepada berhentinya penderitaan. Delapan jalan  mulia yang disebutkan Buddha yakni: pandangan yang benar; pikiran yang benar; bicara benar; tindakan benar; mata pencaharian yang benar; olah batin yang benar; dan konsentrasi yang benar. Dalam arti positif itulah niat untuk bertindak semata-mata atas dasar cinta dan belas kasih. Selanjutnya, Buddha menekankan delapan jalan mulia sebagai tuntunan hidup kaum Buddhis.

a.       Pandangan yang Benar

Memiliki pandangan yang benar berarti melihat segala sesuatu sebagaimana adanya. Pada tingkat yang lebih rendah, hal ini mencakup pengertian intelektual tentang segala sesuatu. Pengetahuan intelektual ditentukan oleh konsep-konsep, prinsip-prinsip dan asumsi-asumsi sistem, maka kebenarannya bersifat relatif dan bergantung pada sistem yang menampungnya. Konsekuensinya, pengetahuan intelektual dipandang sebagai suatu pengertian yang lebih rendah dari pada pengertian yang diperoleh secara langsung (empiris).

b.      Niat yang Benar

Seorang yang berpandangan benar dan melihat bahwa segala sesuatu merupakan proses yang saling bergantung, tentu berpikir benar bahwa mengolah rasa cinta dan belas kasih terhadap segala makhluk akan membawa kebahagiaan.  Pikiran benar ini diungkapkan dalam niat untuk membebaskan diri dari semua hasrat, kehendak yang tidak sehat, kebencian dan kekerasan. Dalam arti positif itulah niat untuk bertindak semata-mata atas dasar cinta dan belas kasih.

c.       Bicara yang Benar

Bicara yang benar pada umumnya berarti mencegah semua pembicaraan yang akan melukai baik diri sendiri maupun orang lain. Hal itu berarti berbicara yang menyenangkan dengan cara santun yang akan menolong mengatasi penderitaan.

d.      Tindakan yang Benar

Dalam arti negatif, tindakan yang benar berarti tidak membunuh, tidak melukai, tidak mencuri dan tidak terlibat dalam kegiatan seksual yang amoral. Sedangkan dalam arti positif tindakan yang benar berarti perbuatan seseorang bermaksud untuk mendukung perdamaian dan kebahagiaan sambil menghargai martabat semua makhluk hidup.

e.       Mata pencaharian yang Benar

Mata pencaharian yang benar memperluas tindakan yang benar dan pembicaraan yang benar menuju usaha seseorang untuk mencari nafkah hidup. Norma ini melarang karya yang merugikan orang lain.

f.       Usaha yang Benar

Pengembangan kebijaksanaan dan tingkah laku moral menuntut disiplin yang meliputi pelaksanaan usaha yang benar, pemusatan hati dan konsentrasi yang benar.

g.      Pemusatan hati dan pikian yang benar

Pemusatan hati dan pikiran yang benar terdiri dari sikap sadar dan peduli terhadap semua kegiatan seseorang. Menjadi sadar dan peduli terhadap kegiatan seseorang berarti mengerti apa kegiatan-kegiatan; bagaimana kegiatan-kegiatan itu muncul; bagaimana mereka menghilang; bagaimana mereka berkembang, dikontrol dan dibebaskan dan bagaimana mereka berhubungan satu sama lain.

h.      Konsentrasi yang Benar

Konsentrasi yang benar merujuk pada pemusatan kesadaran yang menyanggupkan seseorang untuk melihat sesuatu secara lebih dalam. Baik ketidaktahuan maupun pencerahan yang menghasilkan penderitaan dan kebahagiaan, masing-masing memiliki akarnya pada kegiatan mental seseorang.

       III. PENUTUP

Peradaban pemikiran yang ada dalam perjalanan sejarah perkembangan sistem pemikiran filsafat India khususnya dalam tradisi Hindu-Buddha ternyata memiliki banyak refleksi pemikiran yang sangat dalam. Aneka kekhasan yang dimiliki oleh Hindu-Buddha sangat membantu kita dalam memahami sejarah pemikiran Asia khususnya India dalam memahami alam pemikiran yang dijadikan falsafah hidup. Ciri khas filsafat Timur yang lebih natural dan memperhatikan kosmis dengan segala isinya, membuat Filsafat Timur semakin menukik untuk didalami. Sebab, dari padanya mengandung nilai-nilai kehidupan yang sungguh berguna dalam meniti kehidupan ini. Tradisi Hindu-Buddha merupakan salah satu potret kebudayaan dan ciri khas budaya timur yang mengandung nilai-nilai kehidupan baik itu dari aspek religius maupun dari aspek sosial.

Oleh karena itu adalah suatu kebahagiaan sekaligus keharusan bagi kita untuk mengetahui dan mendalami corak berpikir dan kebudayaan kita sebagai orang Asia. Kita tidak boleh bersikap minder atau merasa kurang percaya diri ketika peradaban kita sebagai orang Asia disandingkan dengan peradaban orang barat. Sebab, sejatinya setiap kebudaan dan peradaban memiliki unsur-unsur positif sekaligus bernilai bagi setiap orang dalam kebudayaannya. Peradaban Hindu-Buddha telah mempengaruhi sekaligus mengandung nilai-nilai positif bagi peradaban hidup orang-orang Asia (Timur). Dengan demikian, mendalami pemikiran sekaligus peradaban orang timur adalah suatu tanda menghargai sekaligus menghidupi kekayaan-kekayaan yang ada dalam peradaban hidup sebagai orang Asia. Begitupun dengan mendalami tradisi Hindu-Buddha, sesungguhnya menunjukkan kecintaan dan kebanggaan sebagai orang Asia atau orang Timur. Sebab, dalam tradisi Hindu-Buddha tersebut mengandung kekhasan dan makna yang mesti didalami demi menunjang kehidupan sebagai orang Asia atau orang timur.

DAFTAR PUSTAKA

Kebung, Konrad. Filsafat Bepikir Orang Timur. Jakarta: Prestasi Pustaka, 2011.

--------------------. Filsafat Itu Indah. Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007.

Keene, Michael. Agama-Agama Dunia. Penerj. F.A. Soeprato. Yogyakarta: Kanisius, 2006.

Keladu, Yosef. “Sejarah Filsafat Barat Kuno”. (ms). Maumere: STFK Ledalero, 2016.

Koller, John M. Filsafat Asia. Penerj. Donatus Sermada. Maumere: Ledalero, 2010.

 



[1]Yosef Keladu, Sejarah Filsafat Barat Kuno, (Ms) (Maumere: STFK Ledalero, 2016), hlm.1.

[2]Bdk.Dr. Kondrat Kebung, Filsafat Itu Indah (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2008), hlm. 70. Pembagian ini juga terdapat pola yang dibagi dalam perspektif dan pendekatan lihat juga Konrad Kebung., Filsafat Berpikir Orang Timur (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2011), hlm. 13.

[3]John M. Koller, Filsafat Asia, Penerj. Donatus Sermada (Maumere: Ledalero, 2010), hlm. ix.

[4]Ibid., hlm. 29.

[5]Ibid., hlm. 28.

[6]Ibid., hlm. x. Kata Bahasa Indonesia resi berasal dari Bahasa Sansekerta ṛṣi, yang berarti pelihat atau orang yang melihat.

[7]Ibid. Kata darshana berasal dari kata kerja dṛsh, yang berarti “melihat”. Secara harafiah darshana berarti apa yang dilihat. Dalam tradisi Hinduisme kata darshana dipahami sebagai “satu visi tentang realitas”, visi tentang apa yang dilihat secara tepat dan tidak salah oleh para resi.

[8]Konrad Kebung., op. cit., hlm. 80-82.

[9]Jonh M. Koller, op. cit., hlm. 277.

[10]Prof. Konrad Kebung, Ph.D., op. cit., hlm. 93.

[11]Jonh M. Koller, op. cit., hlm. 280.

[12]Pali canon yang dipercayai oleh Buddha TheraVeda sebagai catatan yang paling akurat tentang segala yang diajarkan dan dilakukan Buddha.  Bahasa Pali ditulis di atas manuskrip daun Palma di Srilanka. Pali canon menekankan bahwa Buddha hanyalah seorang manusia yang telah mencapai pencerahan yang dapat dicapai dengan mengikuti pengajaran dan teladan. Michael Keene, op. cit., hlm. 70.

[13]Ibid., hlm. 72. Juga dapat dilihat di Prof. Konrad Kebung, Ph.D., op. cit., hlm. 85

[14]Bodhisattva yaitu orang yang telah mencapai pencerahan tetapi masih berada di dunia untuk menolong orang lain untuk mencapai tingkat yang sama.

[15]Jonh M. Koller, op. cit., hlm. 280-283.

[16]Prof. Konrad Kebung, Ph.D., op. cit., hlm. 91-92.

[17]Bdk. Jonh M. Koller, op. cit., hlm. 283-286

[18]Prof. Konrad Kebung, Ph.D., op. cit., hlm. 94-95.

[19]Jonh M. Koller, op. cit., hlm.  310-330.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

IMPERATIF MORAL EMANUEL KANT DAN RELEVANSINYA BAGI PENDIDIKAN BUDI PEKERTI SEBAGAI UPAYA MERETAS KENAKALAN REMAJA DI INDONESIA

  https://akademicailmiah.blogspot.com/2020/11/imperatif-moral-emanuel-kant-dan.html IMPERATIF MORAL   EMANUEL KANT DAN RELEVANSINYA BAGI PENDIDIKAN BUDI PEKERTI SEBAGAI   UPAYA MERETAS KENAKALAN REMAJA DI INDONESIA Oleh: Alfonso Lisboa De Araujo (Aldo)   Abstrak: Nakal memanglah sesuatu yang wajar bagi pertumbuhan seorang remaja namun apabila nakal yang dilakukan oleh remaja terus dibiarkan tanpa pendampingan serta intervensi dari orang tua dan para pendidik, maka mereka akan mengangggap   kenakalan itu sebagai sesuatu yang urgen dan harus dipertahankan. Oleh karena itu Imperatif Moral Emanuel Kant adalah konfigurasi moral yang hadir sebagai solusi untuk meretas kenakalan remaja di Indonesia sehingga dapat menciptakan kehidupan harmonis serta kohesi sosial masyarakat.   I.      PENDAHULUAN Berbicara tentang moral bukanlah hal asing bagi kita, melainkan sesuatu yang dianggap urgen dan wajiib untuk dipelajari semua orang terle...