https://akademicailmiah.blogspot.com/2020/09/brahmanisme-dan-buddhisme.html
BRAHMANISME DAN BUDDHISME
Oleh:Hironimus Janggu
I. PENGANTAR
Sejarah
kehidupan manusia tidak dapat disangkalli bahwa telah muncul berbagai aliran berpikir seiring lahirnya perkembangan peradaban
manusia tersebut.
Manusia mulai memikirkan berbagai hal yang bukan saja bersifat material tetapi juga beralih pada refleksi hidup
yang lebih mendalam atas karya alam semesta. Fenomena kosmik mulai
direfleksikan sebagai bagian inheren dari realitas kehidupan. Dalam hal ini alam pun dipersonifikasi sesuai dalam hubungan dengan kebutuhan manusia. Hal
ini juga berimbas pada kenyataan hidup yang memberi gambaran mendalam mengenai hidup
yang muncul dalam berbagai pemikiran diberbagai belahan dunia.
Pemikiran filosofis seperti ini terdapat pada zaman poros yang terjadi sekitar
abad 6-4 SM.[1]
Aliran berpikir mulai muncul sesuai dengan letak geografis seperti filsafat
berpikir orang timur (Asia) dan aliran berpikir yang diberinama sesuai dengan
keyakinan agama seperti Hinduisme
dan Buddhisme.[2] Munculnya kedua keyakinan ini semakin mempertegas bahwa Filsafat menjadi hal yang sangat perlu bagi
perkembangan manusia dalam tahap refleksi. Melalui refleksi, manusia tidak hanya berkutat dengan
pengetahuan intelektualnya, tetapi juga berkutat dengan keyakinannya akan
sesuatu yang memiliki kekuatan Supra-Natural. Sebab, sejatinya tidak semua
persoalan manusia diselesaikan dengan kekuatan akal budinya, tetapi peran agama
juga sangat dibutuhkan dalam memecahkan setiap persoalan manusia.
Selanjutnya, dalam hubungan dengan sosok
dan wacana dalam karya refleksifitas kosmos sering dalam filsafat barat kuno
disebut sebagai aliran filsafat naturalis. Filsafat jenis ini dikonstruksi atas
dasar pemikiran yang sistematis sebagai bagian dari awal perkembangan ilmu.
Filsafat dalam tradisi Barat bertolak dari keingintahuan akal budi manusia dan
melalui penelitian rasional, logis, metodis dan sistematis sehingga suatu kebenaran terkuak.
Prinsip dari filsafat barat adalah hidup yang tidak diuji secara rasional
bukanlah hidup yang layak.[3]
Sedangkan, dalam tradisi wawasan pemikiran dunia timur, refleksi filosofis
dibangun dengan sejajar dengan alam.
Dengan demikian, kehidupan di sekitar
manusia sebagai
penuntun hidup serta norma perilaku yang identik dengan kepercayaan atau agama.
2.1. Brahmanisme
dan Filsafat Agama Buddha (Buddhisme)
2.1.1. Brahmanisme
1. Tradisi
Veda
Tradisi
Veda membentuk suatu ayat suci kebijaksanaan
dan menjadi dasar pembentukan tradisi tata perayaan peribadatan atau ritual
yang sangat kuat. Kitab Veda
sendiri menceritakan kepada kita bahwa ketika ayat-ayat dalam Veda didaraskan, dimadahkan dan
dinyayikan, justeru
memampukan semua ciptaan untuk ambil bagian dalam kebijaksaan dan energi
realitas ilahi.[4]
Tradisi ini tidak menyatakan secara jelas kapan dan di mana proses penulisannya. Tetapi, Hal ini dinyatakan
karena sudah diwahyukan kepada manusia pertama seperti juga diwahyukan dewasa
ini kepada semua orang yang pengalaman spiritual yang mampu menukik ke dalam hidup
(nir-waktu). Tardisi Veda
juga tidak diwahyukan oleh pribadi-pribadi tertentu tetapi oleh realitas itu
sendiri (nir-pengarang).[5] Ketiadaan pengarang dalam tradisi ini tidak menghambat
para pemeluknya untuk menghidupi tradisi tersebut. Sebab, tradisi Veda tersebut
sudah menjadi bagian dari kehidupan.
Selanjutnya, dalam hubungan dengan wahyu, dapat dikatakan
bahwa segala
wahyu yang diturunkan dari dewa-dewi kepada para resi[6]
tentang “visi dari suatu relitas” yang disebut darshana[7]
telah dilihat secara tepat dan sederhana untuk dapat dimengerti. Wahyu yang
diajarkan harus diingat dan didengar agar dapat melihat realitas hidup untuk
menuntun hidup manusia.
2. Upanisad[8]
Secara
harafiah kata Upanisad berarti
“duduk di bawah kaki sang guru”. Kemudian kata ini juga menyebutkan sang guru
yang bersifat rahasia, kemudian dilihat sebagai Kitab yang memuat ajaran-ajaran
rahasia ini. Upanisad memiliki kurang lebih 100 buku. Seluruh ajaran ini
merupakan reaksi kaum kesatria terhadap kuasa para imam. Karena itu pada
awalnya para imam menolak Kitab ini. Namun kemudian, justru merekalah yang
menyebarkan ajaran ini setelah kaum kesatria mengalami kesulitan dalam politik.
Inti
dari ajaran Upanisad bersifat monistis dan
absolutis; segala sesuatu keluar dari
asas tertinggi (Brahman). Brahman
merupakan asas kosmos dan Atman merupakan asas hidup manusia. Brahman berada secara imanen dalam Atman dan di sana yang
tidak terbatas menjadi
terbatas. Atman tidak hanya ada dalam manusia melainkan juga
ada dalam segala sesuatu yang ada dalam alam semesta. Dalam Kitab Brahmana, Atman
(napas hidup) dilihat sebagai pusat segala fungsi jasmani dan rohani manusia.
Self (Atman) menjadi terang yang disebut tat tvamasi yang merupakan kata-kata Brahman tuaaruni kepada putranya. Kemudian kata-kata ini menjadi formula kebenaran terkenal
dalam vedantik. Tat tvamasi berarti
anda harus sadar akan esensi diri anda yang terdalam yang merupakan substansi yang
tidak kelihatan dari segala sesuatu.
2.1.2. Filsafat
Agama Buddha (Buddhisme)
Siddharta
Gautama lahir sekitar tahun 560 SM di India bagian timur laut (Kapilavastu yang
sekarang terletak di daerah Nepal). Tradisi
Buddhis bermula di India sekitar tahun 528 dengan pengalaman pencerahan
Siddharta Gautama. Sesudah pencerahanya, ia dikenal dengan nama Buddha (seorang
yang dicerahkan) karena Buddha menjadi sadar akan kebenaran penderitaan (dukha). Ajaran agama ini
mulai berkembang pesat setelah kematianya
pada 483 SM. Dalam beberapa tahun dalam perlindungan raja Ashoka (yang
memerintah tahun 269-232 SM), Buddhisme berkembang pesat. Model usaha
misionaris Buddhis yang berhasil menyebar juga bukan saja di India melainkan
juga di berbagai daerah lainnya di Asia.[9]
Dalam penyebaran di Asia selalu dapat digambarkan sebagai berikut:[10] Pertama, 300 tahun pertama setelah kematian Buddha
penyebaran sangat kuat selain di India juga terdapat di Srilanka lewat niaga
perdagangan. Para misionaris juga sudah mulai bekerja keras di Cina dan Tibet. Kedua, pada abab ke-7 M, banyak pengusaha
Jepang menganut ajaran ini dan segera diakui secara nasional.
Tradisi
meyakinkan kita bahwa teks yang dikenal dengan nama Nikayas memuat suatu laporan awal yang dapat dipercayai tentang
ajaran-jaran Buddha yang aktual, karena segera sesudah kematian Buddha satu
konsili para biarawan Buddha yang diadakan untuk melihat kembali dan
mengumpulkan ajaran-ajaranya.[11]
Sumber tertulis tentang Buddhisme
dalam tradisi Kitab Suci Theravada dalam
bahasa Pali[12]
disebut pitaka (keranjang) yang dapat
dibagi atas tiga bagian yang disebut tripitaka
(tiga bakul):[13]
Ø Sutrapitaka
terdiri dari berbagai macam-macam ceramah yang diberikan Buddha.
Ø Adhimdhramapitaka, berisi
analisis ajaran Buddha mengenai uraian filosofis tentang manusia (hidup dan
mati).
Ø Vinayapitaka
berbicara mengenai para rahib (Bhikku)
dan yang mengatur tata hidup jemaat.
Sumber lain juga terdapat pada Kitab Suci
kelompok Mahayana yang pada awalnya
ditulis dalam bahasa Sansekerta, yaitu bahasa India pertama yang dapat dijumpai
dalam Pali canon tetapi dengan
tambahan lain. Dinyatakan bahwa Kitab tersebut dipercayai sebagai “sabda Buddha”
misalnya pada Kitab vimalakirti sutra,
yang berisi tentang seorang yang berumah tangga tetapi hidupnya lebih suci dari
pada semua bodhisattva.[14]
1. Ajaran
Sesudah Buddha dan Perpecahan dalam Buddhisme[15]
Dalam
perkembangan historis pemikiran buddhis, terdapat interaksi yang berlangsung
secara terus-menerus antara visi-visi yang lebih tua tentang kehidupan dan
tradisi meditasi yang sudah mempengaruhi Buddha dengan visi-visi baru yang lain
serta cara hidup yang baru. Berbagai interpretasi dan ajaran ortodoks baru
muncul sesudah kematian Buddha (483 SM), karena selama masa hidupnya Buddha
tidak menetapkan kriteria untuk menafsir ajaran-ajaran dan juga tidak memberi
dasar untuk mengartikan ajaran ortodoks untuk ajaran-ajarannya. Malah ketika Buddha
berada dalam sakratul maut, ia
menolak untuk menentukan seorang pemimpin yang menggantikan dia. Sebaliknya, ia
justeru menasihati para biarawan yang sedang berkumpul, “biarlah ajaran (dharma) adalah gurumu,” dan “rajin-rajinlah
dalam usahamu”.
Perbedaan
dalam tradisi ajaran Theravada dan Mahayana terjadi sekitar Lima ratus
tahun sesudah kematian sang Buddha. Para pakar tidak mengetahui secara lebih
jelas dan pasti akan alasan yang menyebabkan perpecahan itu atau mereka tidak
tahu pasti kapan perpecahan itu terjadi. Rupanya hal itu merupakan satu proses
yang terjadi perlahan-lahan pada suatu masa antara tahun 200 SM dan 100 M.
Namun harus ditekankan, walaupun
ada perbedaan dalam menafsir ajaran tersebut, mereka kerap kali hidup bersama
dalam biara yang sama dan menjalankan praktik hidup yang sama selama abad-abad
awal. Sesuatu yang berlaku secara
umum jauh lebih penting dari pada perbedaan dari tradisi yang menjadi afiliasi
mereka. Komitmen yang dibangun dalam perbedaan ajaran ini yaitu tetap bersandar
pada Empat Kebenaran Mulia dan Delapan Jalan Mulia; usaha untuk
menegakkan kepedulian sebagai jantung praktik mereka; dan
penerimaan mereka akan Buddha, ajaran dan komunitas sebagai tiga serangkai
dasar praktik hidup mereka.
Kemudian, Theravada atau
hinayana (kendaraan atau kapal feri
yang kecil) memiliki observasi yang sempit dengan penekanan aspek monastik dan
asketik serta persepsi etis tingkah laku manusia. Kelompok ini lebih konservatif,
tradisional dan otoritatif. Sedangkan Mahayana
(kendaraan besar): penekanan diberikan kepada kehidupan mistik dan lebih
liberal.[16]
Perbedaan yang lain juga ada misalnya pandangan mengenai Buddha, ajaran-ajaran esensial, komunitas Buddhis, cita-cita,
jalan, iman, realitas dan beberapa prinsip hidup lainnnya.[17]
2. Ajaran
Buddha Tentang Keselamatan[18]
Tujuan
akhir dari hidup adalah nirvana yaitu
pencapaian dunia tidak terbatas juga mencapai situasi bebas dari kefanaan dan
kesementaraan. Penderitaan sudah dihapus dan kedamaian abadi tercapai. Kata dan istilah nirvana dimengerti secara amat berbeda
oleh empat kelompok manusia:
a. Bagi
orang yang menderita atau takut menderita, nirvana dilihat sebagai suatu
pembebasan atau pemuasaan dari situasi hidup mereka.
b. Kelompok
orang yang berusaha melenyapkan ajaran tentang nirvana atau mengklaim bahwa
tidak ada nirvana. Mereka berpikir bahwa nirvana baru ada setelah akal sudah
tidak lagi bekerja dan semua elemen yang membentuk personalitas dan dunia tidak
lagi berfungsi. Tidak lagi terdapat ingatan tentang masa lampau dan juga masa
sekarang.
c. Ada
yang berpikir tentang nirvana yang selalu ada dalam hubungan dengan diri mereka
sendiri. Mereka berbicara tentang kebahagiaan bagi diri mereka. Dunia ini
hanyalah ungkapan pikiran. Manusia harus mempraktekkan
segala peraturan dan relasi sosial untuk dapat mewujudkan diri dalam
kebijaksaan luhur dengan usaha mereka sendiri.
d. Nirvana
orang Buddha. Bagi seorang bhodisattva akal
sudah tidak lagi mendapat tempat yang utama melainkan hati atau batin. Sudah
tidak ada lagi pelbagai halangan dalam pengetahuan. Tidak ada lagi kerinduan akan
seks, tidak ada lagi kerja keras dan kerinduan akan hidup abadi. Realisasi diri
sudah ditemukan dalam kebijaksaan luhur.
3. Keutamaan
Buddha[19]
Sesudah mengalami pencerahan sekitar
tahun 528 SM, Siddhartha
yang kini disebut Buddha (orang yang mengalami pencerahan) oleh para
pengikutnya, membaktikan dirinya untuk mengajarkan jalan yang telah
ditemukannya untuk mengatasi penderitan. Berikut ini akan diuraikan empat kebenaran
mulia yang diajarkan Buddha dalam khotbah pertamanya yang dibawakan di Deer
Park, di Benares pada saat sesudah pencerahan yang terdiri dari empat komponen;
a.
Kebenaran
tentang apa itu penderitaan (duhkha).
b. Kebenaran
tentang unsur-unsur yang menyebabkan penderitaan.
c. Kebenaran
bahwa penderitaan dapat dihilangkan dengan cara menghilangkan kondisi-kondisi
yang menyebabkan penderitaan.
d. Kebenaran
bahwa jalan untuk menghilangkan kondisi-kondisi yang menyebabkan penderitaan
adalah untuk mengikuti jalan tengah yang ditetapkan dalam delapan jalan mulia.
Empat
komponen kebenaran itu disebut mulia (arya)
yang berarti hal itu
layak mendapat pengakuan dan respek karena
sangat bernilai dalam usaha manusia untuk mengerti dan menghilangkan
penderitaan. Selanjutnya, ada
juga kebenaran mulia yang juga diajarkan
Buddha, selain empat kebenaran di atas, antara lain; pertama, kebenaran ini menyangkut kebenaran
tentang penderitaan. Jalan hidup yang diajarkan Buddha
yaitu delapan jalan mulia, karena pada dasarnya merupakan suatu obat yang
diperuntukan untuk menyembuhkan penyakit dasar manusia yaitu duhkha, maka pentinglah untuk mengerti
kebenaran tentang penderitaan. Kedua, kebenaran
Mulia yang menjelaskan unsur-unsur yang menyebabkan penderitaan.
Menurut
Buddha yang menyebabkan penderitaan adalah “kehausan” (hasrat; trisnha). Kehausanlah yang menyebabkan
eksist kembali dan pertumbuhan kembali, yang dibaluti dengan kelobaan yang
penuh nafsu. Kehausan (hasrat) yang
dikatakan Buddha menyebabkan penderitaan adalah satu bentuk kerinduan yang kuat dan tidak terhindarkan, bentuk
kerinduan yang menggerakan orang kepada sesuatu yang ekstrim dalam usaha untuk
mencapai dan menghindari sesuatu. Dalam usaha untuk memuaskan hasrat akan
eksistensi yang terpisah dan permanen tersebut, seseorang mencoba merebut kekayaan, kuasa, kemasyuran dan kesehatan. Ketiga, kebenaran tentang penderitaan yang dapat
dihilangkan dengan cara menghilangkan kondisi-kondisi yang menyebabkan
penderitaan. Kebenaran bahwa pembebasan dari
penderitaan adalah mungkin memuat analisis berikut tentang proses lahirnya
kondisi duhkha. Jika hasrat yang
ingat diri melahirkan penderitaan, maka pembebasan dari penderitaan dapat
dicapai melalui proses menghilangkan hasrat itu. Menurut Buddha, kebenaran
mulia tentang berhentinya penderitaan adalah berhenti total dari rasa dahaga
yang membara (hasrat), menyerah,
menolaknya, beremansipasi keluar dari hasrat
itu, melepaskan keterikatan darinya. Menghilangnya penderitaan melalui padamnya
hasrat tersebut itulah yang dinamakan disebut
nirvana, satu kata yang secara
harafiah berarti “terpadamkan”. Ketika hasrat itu dipadamkan, maka penderitaan
ditarik keluar
dari akarnya. Jadi, meskipun istilah nirvana bersifat negatif, tetapi tujuan nirvana Buddhis bersifat
positif, karena nirvana merujuk pada hidup damai dan bahagia, bebas dari
penderitaan, satu pembebasan yang dicapai melalui usaha memadamkan hasrat akan hidup yang terpisah
dan permanen. Keempat,
kebenaran
bahwa jalan untuk menghilangkan kondisi-kondisi yang menyebabkan penderitaan
adalah untuk mengikuti jalan tengah yang ditetapkan dalam delapan jalan mulia. Jalan untuk
menghilangkan dukha adalah dengan
memperaktikan delapan jalan mulia yang mengantar orang kepada berhentinya
penderitaan. Delapan jalan mulia yang
disebutkan Buddha yakni: pandangan yang benar; pikiran yang benar; bicara benar; tindakan
benar; mata pencaharian yang benar; olah batin yang benar; dan konsentrasi yang
benar. Dalam
arti positif itulah niat untuk bertindak semata-mata atas dasar cinta dan belas
kasih. Selanjutnya,
Buddha menekankan delapan jalan mulia sebagai tuntunan hidup kaum Buddhis.
a. Pandangan
yang Benar
Memiliki
pandangan yang benar berarti melihat segala sesuatu sebagaimana adanya. Pada tingkat
yang lebih rendah, hal ini mencakup
pengertian intelektual tentang segala sesuatu. Pengetahuan intelektual
ditentukan oleh konsep-konsep,
prinsip-prinsip dan asumsi-asumsi sistem, maka kebenarannya bersifat relatif dan bergantung pada sistem yang menampungnya. Konsekuensinya, pengetahuan intelektual
dipandang sebagai suatu pengertian yang lebih rendah dari pada pengertian yang diperoleh secara langsung (empiris).
b. Niat
yang Benar
Seorang yang berpandangan benar dan melihat bahwa segala
sesuatu merupakan proses yang saling bergantung, tentu berpikir benar bahwa
mengolah rasa cinta dan belas kasih terhadap segala makhluk akan membawa kebahagiaan. Pikiran benar ini diungkapkan dalam niat
untuk membebaskan diri dari semua hasrat, kehendak yang tidak sehat, kebencian
dan kekerasan. Dalam
arti positif itulah niat untuk bertindak semata-mata atas dasar cinta dan belas
kasih.
c.
Bicara yang Benar
Bicara yang
benar pada umumnya berarti mencegah semua pembicaraan yang akan melukai baik
diri sendiri maupun orang lain. Hal itu berarti berbicara yang menyenangkan
dengan cara santun yang
akan menolong mengatasi penderitaan.
d. Tindakan
yang Benar
Dalam arti negatif, tindakan yang benar berarti tidak
membunuh, tidak melukai,
tidak mencuri dan tidak terlibat dalam kegiatan seksual yang amoral. Sedangkan
dalam arti positif tindakan yang benar berarti perbuatan seseorang bermaksud
untuk mendukung perdamaian dan kebahagiaan sambil menghargai martabat semua makhluk hidup.
e. Mata
pencaharian yang Benar
Mata pencaharian yang benar memperluas
tindakan yang benar dan pembicaraan yang benar menuju usaha seseorang untuk mencari nafkah hidup. Norma ini melarang karya yang merugikan orang lain.
f. Usaha
yang Benar
Pengembangan kebijaksanaan dan tingkah
laku moral menuntut
disiplin yang meliputi pelaksanaan usaha yang benar, pemusatan hati dan
konsentrasi yang benar.
g. Pemusatan
hati dan pikian yang benar
Pemusatan hati dan pikiran yang benar terdiri dari sikap sadar dan peduli terhadap semua kegiatan seseorang. Menjadi sadar dan peduli terhadap kegiatan seseorang berarti mengerti apa kegiatan-kegiatan; bagaimana kegiatan-kegiatan itu muncul; bagaimana mereka menghilang; bagaimana mereka berkembang, dikontrol dan dibebaskan dan bagaimana mereka berhubungan satu sama lain.
h. Konsentrasi
yang Benar
Konsentrasi yang benar merujuk pada
pemusatan kesadaran yang menyanggupkan seseorang untuk melihat sesuatu secara
lebih dalam. Baik ketidaktahuan maupun pencerahan yang menghasilkan penderitaan
dan kebahagiaan, masing-masing
memiliki akarnya pada kegiatan mental seseorang.
Peradaban
pemikiran yang ada dalam perjalanan sejarah perkembangan sistem pemikiran filsafat India khususnya dalam tradisi Hindu-Buddha ternyata
memiliki banyak refleksi pemikiran yang sangat dalam. Aneka
kekhasan yang dimiliki oleh Hindu-Buddha sangat membantu
kita dalam memahami sejarah pemikiran Asia khususnya India dalam memahami alam
pemikiran yang dijadikan falsafah hidup. Ciri khas filsafat Timur yang lebih
natural dan memperhatikan kosmis dengan segala isinya, membuat Filsafat Timur
semakin menukik untuk didalami. Sebab, dari
padanya mengandung nilai-nilai kehidupan yang sungguh
berguna dalam meniti kehidupan ini. Tradisi Hindu-Buddha merupakan salah satu
potret kebudayaan dan ciri khas budaya timur yang mengandung nilai-nilai
kehidupan baik itu dari aspek religius maupun dari aspek sosial.
Oleh karena
itu adalah suatu kebahagiaan sekaligus keharusan bagi kita untuk mengetahui dan mendalami
corak berpikir dan kebudayaan kita sebagai orang Asia. Kita tidak boleh
bersikap minder atau merasa kurang percaya diri ketika peradaban kita sebagai
orang Asia disandingkan dengan peradaban orang barat. Sebab, sejatinya setiap
kebudaan dan peradaban memiliki unsur-unsur positif sekaligus bernilai bagi
setiap orang dalam kebudayaannya. Peradaban Hindu-Buddha telah mempengaruhi sekaligus
mengandung nilai-nilai positif bagi peradaban hidup orang-orang Asia (Timur).
Dengan demikian, mendalami pemikiran sekaligus peradaban orang timur adalah
suatu tanda menghargai sekaligus menghidupi kekayaan-kekayaan yang ada dalam
peradaban hidup sebagai orang Asia. Begitupun dengan mendalami tradisi Hindu-Buddha,
sesungguhnya menunjukkan kecintaan dan kebanggaan sebagai orang Asia atau orang
Timur. Sebab, dalam tradisi Hindu-Buddha tersebut mengandung kekhasan dan makna
yang mesti didalami demi menunjang kehidupan sebagai orang Asia atau orang timur.
DAFTAR
PUSTAKA
Kebung,
Konrad. Filsafat Bepikir Orang Timur.
Jakarta: Prestasi Pustaka, 2011.
--------------------. Filsafat Itu
Indah. Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007.
Keene, Michael. Agama-Agama
Dunia.
Penerj.
F.A. Soeprato. Yogyakarta:
Kanisius, 2006.
Keladu,
Yosef. “Sejarah Filsafat Barat Kuno”.
(ms). Maumere: STFK Ledalero, 2016.
Koller, John M. Filsafat Asia.
Penerj. Donatus Sermada. Maumere:
Ledalero, 2010.
[1]Yosef Keladu, Sejarah Filsafat Barat Kuno, (Ms)
(Maumere: STFK Ledalero, 2016), hlm.1.
[2]Bdk.Dr. Kondrat Kebung, Filsafat Itu Indah (Jakarta: Prestasi
Pustaka, 2008), hlm. 70. Pembagian ini juga terdapat pola yang dibagi dalam
perspektif dan pendekatan lihat juga Konrad Kebung., Filsafat
Berpikir Orang Timur (Jakarta:
Prestasi Pustaka, 2011), hlm. 13.
[3]John M. Koller, Filsafat Asia, Penerj. Donatus Sermada (Maumere:
Ledalero, 2010), hlm. ix.
[4]Ibid.,
hlm. 29.
[5]Ibid.,
hlm. 28.
[6]Ibid.,
hlm. x. Kata
Bahasa Indonesia resi berasal dari Bahasa Sansekerta ṛṣi, yang berarti pelihat atau orang yang melihat.
[7]Ibid. Kata darshana berasal dari kata kerja dṛsh, yang berarti “melihat”.
Secara harafiah darshana berarti apa yang dilihat. Dalam tradisi Hinduisme kata
darshana dipahami sebagai “satu visi
tentang realitas”, visi tentang apa yang dilihat secara tepat dan tidak salah
oleh para resi.
[8]Konrad Kebung., op. cit., hlm.
80-82.
[9]Jonh M. Koller, op. cit., hlm. 277.
[10]Prof. Konrad Kebung, Ph.D., op. cit., hlm. 93.
[11]Jonh M. Koller, op. cit.,
hlm. 280.
[12]Pali
canon yang
dipercayai oleh Buddha TheraVeda sebagai catatan yang paling akurat tentang
segala yang diajarkan dan dilakukan Buddha.
Bahasa Pali ditulis di atas manuskrip daun Palma di Srilanka. Pali canon menekankan bahwa Buddha
hanyalah seorang manusia yang telah mencapai pencerahan yang dapat dicapai
dengan mengikuti pengajaran dan teladan. Michael Keene, op. cit., hlm. 70.
[13]Ibid., hlm. 72. Juga dapat dilihat di
Prof. Konrad Kebung, Ph.D., op. cit., hlm.
85
[14]Bodhisattva
yaitu orang yang
telah mencapai pencerahan tetapi masih berada di dunia untuk menolong orang
lain untuk mencapai tingkat yang sama.
[15]Jonh M. Koller, op. cit.,
hlm. 280-283.
[16]Prof. Konrad Kebung, Ph.D., op. cit., hlm. 91-92.
[17]Bdk. Jonh M. Koller, op. cit., hlm. 283-286
[18]Prof. Konrad Kebung, Ph.D., op. cit., hlm. 94-95.
[19]Jonh M. Koller, op. cit., hlm. 310-330.
Komentar
Posting Komentar